Sindiran Humor Masyarakat Dan Tokoh Negara

Sindiran Humor Masyarakat Dan Tokoh Negara

Sindiran Humor Masyarakat Dan Tokoh Negara – Dunia politik yang rumit atau fenomena sosial yang mencengangkan kadang sulit dicerna. Tetapi bagaimana jika hal itu dibungkus dengan humor?

Apakah anda masih ingat tentang sindiran warga Bekasi ?Anda tentu masih ingat kegalauan warga Bekasi yang kerap dilanda kemacetan lalu lintas sehingga membuat perjalanan dari daerah itu menuju Jakarta dan sebaliknya memakan waktu berjam-jam. poker 99

Sindiran Humor Masyarakat Dan Tokoh Negara

Banyak orang menumpahkan kegundahannya di media sosial, dan tak sedikit yang mengolok-oloknya. Selanjutnya saat pertengahan 2014 terkenal tagar #SaveBekasi dan ratusan meme (gambar parodi) yang menggambarkan kota satelit itu, misalnya, sebagai planet yang harus dituju dengan roket. Tagar ini menjadi trending topic Twitter. www.americannamedaycalendar.com

Hal serupa terjadi ketika mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2 Desember lalu menggelar konferensi pers di Cikeas, Bogor, menanggapi rencana unjuk rasa terkait kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Gubernur nonaktif Jakarta, Basuki “Ahok” .

Sindiran Humor Masyarakat Dan Tokoh Negara

Ketika itu SBY menyatakan para pemimpin harus mendengar aspirasi pengunjuk rasa, karena jika tidak didengar maka aksi serupa akan terus terjadi.

“Kalau sama sekali tidak didengar sampai lebaran kuda tetap ada demonstrasi unjuk rasa,” ujar SBY.

Netizen pun riuh menanggapi pernyataan ini. Tagar #LebaranKuda hingga lelucon dan meme kocak serta merta muncul dan meluas, bahkan seorang pedagang dengan gesit memanfaatkannya dengan menjual kaos bertuliskan Lebaran Kuda.

Tidak sampai di situ, dimulai awal Januari 2017 ini pun berbagai permasalahan sosial politik ditanggapi sejumlah lapisan masyarakat dengan humor. “Om Telolet Om” dan “Fitsa Hats” adalah yang terbaru.

Maman Suherman — wartawan, pembawa acara bincang-bincang di televisi dan penulis, termasuk menulis humor politik — mengatakan, maraknya fenomena humor satir yang membungkus persoalan politik dan sosial sekarang ini menunjukkan dua hal: kedewasaan dan sekaligus keletihan masyarakat.

“Terdapat warga yang menyikapi secara dewasa setiap peristiwa politik di negeri ini, dengan “menyalurkannya” dalam humor-humor satir. Tapi ada juga yang menyiratkan ketidakberdayaannya atau rasa letihnya, rasa tidak ada harapan melihat carut marut dunia politik pada setiap penyelenggaraan pilkada/pilpres. Mereka menanggapinya dalam humor satir hingga cenderung sarkastis,” ujarnya.

Banyak masyarakat yang menanggapi atau mengungkapkan humor politik ini akhirnya dikenal luas masyarakat, tidak hanya karena memang apa yang diungkapkannya menarik, tetapi juga karena kelebihan media sosial yang membuat tulisan atau pernyataan itu bisa disebarluaskan puluhan ribu kali.

Salah seorang di antaranya adalah Eko Kuntadhi, yang mengatakan bahwa ia tidak pernah menyangka cuitannya akan meluas.

“Tadinya saya pikir menulis secara pribadi ketika melihat satu peristiwa dan fenomena. Nggak kepikiran akan menyebar, bisa viral sampai kemana-mana, direspon banyak pihak dan bahkan sampai juga terdengar ke Washington DC,” ujarnya kepada VOA lewat telepon.

Senada dengan Maman, Eko menilai masyarakat Indonesia sudah lelah dengan berita-berita dan pola pemberitaan penuh bias yang menyelimuti mereka setiap hari.

“Saya akhirnya jadi tertarik menulis dengan cara-cara yang ringan tapi bermanfaat. Jika orang baca jadi bisa melihat situasi dengan jernih dari sisi yang lain tapi tidak bikin pusing dan jenuh dengan konflik-konflik yang ada,” kata Eko.

“Saya mencoba menciptakan optimisme dalam melihat sesuatu dan mentertawakan diri kita sendiri. Saya berupaya menjaga akal sehat publik. Ini alasan saya menulis di media sosial”.

Kritik dan Humor Satir

“Mbak, beli Equil, dong. Alkoholnya jangan dicampur, ya.” Demikian Eko menulis di akun Facebooknya pada 29 November 2016, menanggapi ramainya isu bahwa Gubernur Ahok mengonsumsi alkohol dalam sebuah rapat, dipicu oleh sebuah foto.

Foto dokumentasi rapat tahun 2015 itu memperlihatkan Ahok, Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal (sekarang Kapolri) Tito Karnavian, dan Ketua Steering Committee Turnamen Piala Presiden 2015 Maruarar Sirait. Foto itu menarik perhatian karena disertai judul “Biar foto yang berbicara atas ketidakadilan yang terjadi di Indonesia. Acara minum-minum MIRAS bersama akibat sering gaul sama Ahok”. Yang dinilai sebagai miras atau minuman keras adalah beberapa botol air mineral Equil yang berwarna hijau.

Sontak foto ini menjadi trending topic, sementara akun yang menyebarluaskan foto ini dikecam luas masyarakat.

Lewat humor satir dalam tulisan pendek atau panjang, Eko mencermati fenomena dan respon yang ada. Mulai dari gaya para calon gubernur dalam pilkada Jakarta, protes terhadap penerbitan uang rupiah baru yang menampilkan sosok pahlawan Aceh Cut Mutia tanpa jilbab, sosialisasi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) oleh satu organisasi massa tentang penggunaan atribut Natal, sidang pengadilan Ahok, demonstrasi besar-besaran pada bulan November dan Desember, hingga soal kenaikan harga.

Tak jarang Eko mengomentari situasi yang ada di luar negeri, seperti berita kemenangan Donald Trump dalam pemilu AS 8 November lalu, atau berita dari Dubai, Uni Emirat Arab yang mengharamkan tindakan perempuan yang memeriksa telepon seluler suami. Link berita itu tersebar luas di dunia maya, terutama di berbagai kelompok aplikasi perbincangan WhatsApp dan Telegram.

“Jadi perempuan itu, mesti meniru sikap Siti Hawa. Dia percaya 100 persen dengan suaminya. Kemanapun Adam pergi, ia tidak pernah khawatir suaminya kepincut perempuan lain” — tulis Eko.

Hal senada juga dilakukan Denny Siregar, yang secara reguler menulis tentang berbagai fenomena sosial melalui situsnya. Tulisan Denny kerap mengundang senyum pahit pembacanya karena dengan tajam menyorot persoalan yang ada dari sudut pandang berbeda.

Misalnya saja artikel berjudul “Rapat Belakang Mas Anies”, yang mengkritisi kedatangan calon gubernur Jakarta itu ke markas Front Pembela Islam FPI di Petamburan hari Minggu lalu (1/1). Atau tulisan “Pakde, Jangan Sampai Warna Merah di Bendera Kita Diganti Warna Hijau” yang memotret penyelidikan bantuan ke Suriah, yang kabarnya justru jatuh ke tangan pemberontak.

Tulisan-tulisan Denny ini di-share puluhan ribu kali di berbagai media sosial.

Komedi Politik Bagian Penting Demokrasi

Di Amerika Serikat, kehadiran sosok yang menyampaikan humor kritis, baik dalam bentuk tulisan maupun pertunjukkan di tempat terbuka, kafe (stand-up comedy) atau layar televisi bukan hal baru. Orang bisa membaca tulisan berbentuk “catatan” di surat kabar dan majalah, datang ke kafe atau tempat pertunjukkan komedi, atau cukup menonton di layar televisi seperti sekarang.

Bob Hope adalah komedian yang paling dikenal sepanjang masa berkat berbagai humor satirnya pada masa Perang Dunia II. Ketika skandal Watergate yang membuat Presiden Richard Nixon mengundurkan diri tahun 1974, Hope menyindir dengan mengatakan “Watergate gave dirty politics a bad name”.

Beberapa tahun kemudian muncul Bill Cosby, Woody Allen dan Steve Martin, disusul angkatan Robin Williams, Lewis Black, Louis CK, Jerry Seinfeld, Jon Stewart, dan Stephen Colbert. Ada juga komedian perempuan seperti Joan Rivers, Whoopi Goldberg, Ellen DeGeneres, Sarah Silverman, Chelsea Handler dan Amy Schumer. Nama-nama ini seringkali meluncurkan komentar soal politik.